Aku masih ingat betul malam itu—jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari saat iklan pertama kami tayang secara resmi di platform digital. Mata sudah lelah, kopi dingin di meja, dan jantungku berdetak tak beraturan. Bukan karena takut iklannya gagal, tapi karena di balik satu iklan itu, ada seribu harapan yang kami gantungkan.
Ini bukan sekadar iklan berdurasi 30 detik. Ini adalah hasil dari berbulan-bulan brainstorming, revisi yang tak terhitung jumlahnya, dan diskusi tanpa ujung tentang siapa sebenarnya brand kami dan mengapa orang harus peduli. Sebagai digital marketing manager di perusahaan rintisan yang baru saja keluar dari bayang-bayang tahap MVP (Minimum Viable Product), aku tahu satu hal: kami tidak punya banyak waktu ataupun dana untuk gagal.
Permulaan yang Tak Sempurna
Saat pertama kali kami membicarakan peluncuran brand, semua terdengar mudah: “Kita bikin iklan yang relate, kasih CTA yang kuat, selesai.” Tapi realitasnya? Tidak sesederhana itu. Brand kami belum punya nama besar, belum punya testimoni pelanggan, bahkan belum punya modal besar untuk bermain di channel premium.
Di awal, semua strategi terasa seperti menebak-nebak. Haruskah kita push iklan di Instagram? Coba YouTube? Atau main di TikTok dengan gaya yang lebih santai? Setiap platform punya tantangannya sendiri, dan kami tak bisa ambil semuanya sekaligus.
Taruhan Besar di Dunia Digital
Akhirnya, kami fokus pada satu kampanye: sebuah video pendek yang menceritakan perjuangan pelanggan kami dalam menghadapi masalah sehari-hari, dan bagaimana produk kami hadir sebagai solusi kecil yang bermakna. Tanpa aktor mahal, hanya kisah nyata dan visual yang jujur.
Ketika iklan itu tayang, kami hanya bisa berharap. Harap bahwa orang akan berhenti scroll. Harap bahwa mereka mau menonton sampai habis. Harap bahwa mereka percaya pada brand yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Respon Pertama dan Kegelisahan
Hari pertama, hasilnya mengecewakan. CTR rendah, engagement sepi, komentar nihil. Aku mulai mempertanyakan semuanya. Mungkin narasi kami terlalu berat? Mungkin visual kami kurang memikat? Tapi di hari ketiga, sesuatu mulai berubah.
Seseorang berkomentar, “Gue ngerasa banget sama cerita ini.” Komentar lain muncul, “Kayak gue dua tahun lalu. Thanks udah bikin iklan ini.” Engagement mulai naik, perlahan tapi pasti. Bukan karena kami push hard selling, tapi karena orang mulai merasa terhubung.
Bukan Sekadar Angka
Dalam sebulan, iklan itu tidak hanya membawa kami traffic dan konversi, tapi juga memperkenalkan siapa kami sebagai brand. Orang mulai menyebut nama brand kami di kolom komentar, membagikan video kami, dan bahkan bercerita pengalaman mereka sendiri.
Dari satu iklan itu, kami mendapatkan lebih dari yang kami harapkan: kepercayaan.
Belajar dari Perjuangan
Aku belajar satu hal penting dari proses ini: membangun brand di dunia digital bukan hanya tentang tampil di depan sebanyak mungkin orang. Ini tentang tampil di depan orang yang tepat, dengan cerita yang tepat, di waktu yang tepat.
Digital marketing bukan sulap. Tapi jika kita punya pesan yang kuat, jujur, dan menyentuh—maka satu iklan bisa benar-benar membawa seribu harapan, bukan hanya untuk brand, tapi juga untuk orang-orang yang kita sentuh lewat layar mereka.
Kini, setiap kali kami membuat kampanye baru, aku selalu ingat iklan pertama kami. Iklan sederhana, minim anggaran, tapi penuh hati. Karena pada akhirnya, membangun brand dari digital bukan tentang seberapa banyak kita bisa bayar, tapi seberapa dalam kita bisa terhubung.