Sebuah perusahaan sedang bersiap meluncurkan produk baru. Tim digital dipanggil untuk rapat besar. Di satu sisi, ada yang mulai menggambar alur kampanye di papan tulis—menentukan persona audiens, memetakan customer journey, dan menandai titik-titik penting dalam proses pembelian. Di sisi lain, seseorang membuka dashboard iklan, mengatur anggaran, membuat A/B testing, dan mempersiapkan laporan mingguan. Keduanya terlihat sibuk, tapi dengan arah yang berbeda.

Inilah dua peran penting dalam dunia pemasaran digital: Digital Strategist dan Digital Marketing Manager.

Meskipun keduanya bekerja di bawah payung yang sama—pemasaran digital—tugas dan fokus mereka sangat berbeda. Strategi dan eksekusi. Visi dan aksi. Rencana besar dan langkah kecil yang konsisten.

Seorang Digital Strategist ibarat arsitek. Ia tidak langsung membangun rumah, tapi menentukan bentuknya, fondasinya, dan arah mata angin. Strategist menyelami data pasar, mengamati tren perilaku konsumen, lalu menyusun peta jalan digital yang akan diikuti tim selama berbulan-bulan. Ia berpikir tentang bagaimana brand ini ingin dikenang, bagaimana pengalaman pengguna dibentuk dari detik pertama mereka melihat iklan hingga akhirnya menjadi pelanggan loyal.

Ia harus mampu melihat gambaran besar: mengapa kampanye ini dibuat? Apa tujuan bisnis yang ingin dicapai? Siapa audiensnya, dan platform mana yang paling cocok untuk menjangkau mereka? Seorang strategist akan memutuskan apakah brand perlu fokus pada konten edukatif di YouTube, membangun komunitas di media sosial, atau berinvestasi dalam SEO untuk menarik traffic organik.

Sementara itu, Digital Marketing Manager seperti mandor di lapangan. Ia memastikan setiap batu bata strategi tadi tersusun rapi. Mulai dari menjadwalkan konten media sosial, mengelola kampanye iklan berbayar, hingga memantau performa email marketing. Jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, dialah yang harus mengatur ulang taktik, mengganti pendekatan, dan memastikan target tetap tercapai.

Peran ini menuntut kecekatan, ketelitian, dan kemampuan mengambil keputusan cepat. Ketika kampanye iklan tidak menghasilkan konversi sesuai ekspektasi, Marketing Manager harus segera melakukan evaluasi: apakah copy-nya kurang menarik? Apakah penempatan iklannya tepat? Ia bekerja erat dengan tim desain, copywriter, bahkan sales, untuk mengoptimalkan hasil.

Di dalam kampanye besar itu, Strategist mungkin sudah berpindah ke proyek berikutnya—merancang strategi untuk produk lain atau membuat konsep untuk tahun depan. Tapi sang Marketing Manager masih berjibaku dengan metrik dan angka, mencari tahu mengapa iklan yang satu lebih efektif dari yang lain, dan bagaimana semua ini bisa dikaitkan kembali ke tujuan bisnis.

Mereka tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa strategi, kampanye bisa kehilangan arah. Tapi tanpa pelaksana yang gesit, strategi hanya akan menjadi dokumen yang indah di atas kertas.

Dalam banyak kasus, peran keduanya saling melengkapi. Strategist menetapkan arah dan filosofi digital sebuah brand, sementara Marketing Manager menyalurkan energi tim untuk mewujudkannya di lapangan. Strategist berperan dalam perencanaan jangka panjang, sementara Marketing Manager menjaga agar mesin kampanye tetap berjalan setiap hari.

Terkadang, batas antara keduanya bisa kabur—terutama di perusahaan kecil. Tapi di lingkungan yang lebih kompleks, perbedaan peran ini menjadi semakin jelas dan penting. Strategi tanpa implementasi hanyalah teori. Implementasi tanpa strategi, hanya buang-buang anggaran.

Itulah perbedaan mendasar antara Digital Strategist dan Digital Marketing Manager. Bukan soal siapa lebih penting, tapi bagaimana keduanya bekerja sama untuk membangun pengalaman digital yang utuh, terukur, dan berdampak.

Dan di balik kesuksesan digital sebuah brand, seringkali kolaborasi keduanya yang menjadi kunci.